Sejarah Berdirinya Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, merupakan Masjid yang memiliki lembaran sejarah tersendiri, yang kini merupakan Masjid Negara yang berada di jantung kota Propinsi Nanggro Aceh Darussalam. Nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama Masjid Raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612 M. Mesjid raya ini memang pertama kali dibangun oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, namun telah terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada bulan shafar 1290/April 1873 M, dimana dalam peristiwa tersebut tewas Mayjen Khohler yang kemudian diabadikan tempat tertembaknya pada sebuah monument kecil dibawah pohon ketapang/geulumpang dekat pintu masuk sebelah utara mesjid.
Empat tahun
setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294
H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur
Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman
yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan
permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana
disimpulakan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang
100% beragama Islam. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander
selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13
Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh
Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini
siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya
sebuah saja.
Museum Tsunami Aceh dirancang oleh arsitek asal Indonesia, Ridwan Kamil. Museum ini merupakan sebuah struktur empat lantai dengan luas 2.500 m² yang dinding lengkungnya ditutupi relief geometris. Di dalamnya, pengunjung masuk melalui lorong sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi — untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh.[2] Dari atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami.
Merombak rumoh
Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah ruangan dari
tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang bagian
yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering disebut
dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe reunyeun (serambi
bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang selalu menghadap ke
timur.
Rumoh Aceh
yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang
memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an)
yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari
keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van
Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar.
Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20
- 35 cm.
Taman Putroe Phang
(Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang
dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan
pemerintahan.
Pembangunan
taman dikisahkan merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa
ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang ditaklukan.
Di dalam taman
ini terdapat Pinto Khop yaitu gerbang kecil berbentuk kubah yang merupakan
pintu yang menghubungkan taman dengan istana. Pinto Khop ini merupakan tempat
beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan,
di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Di sana juga terdapat kolam untuk sang
permaisuri keramas dan mandi bunga.
Makam Sultan Iskandar Muda ini berada dalam satu komplek dengan
family kerajaan Aceh yang terletak berdampingan dengan lokasi Museum Aceh di
Banda Aceh.
Zaman keemasan kerajaan Aceh dulu terjadi pada Pemerintahan Sultan
Iskandar Muda , beliau adalah keturunan dari dua dinasti yaitu Dinasti Mahkota
Alam dan Dinsti Darul-Kamal, ibunya Putri Raja Indra Bangsa / Paduka Syah Alam
dan bapak bernama Mansur Syah, tanggal kelahiran Sulatan Iskandar Muda belum di
ketahui secara pasti tapi menurut hikayat ,Putri Raja Indra Bangsa memerintah
pada tahun 1579 sampai 1586 hamil beberapa waktu setelah menikah, dan juga
cerita dari Best pada tahun 1613 umur sultan 32 tahun berarti dapat di
kira-kira sultan lahir pada tahun 1583, ada juga versi di makam pusara beliu
tertulis tahun kelahiran 1590, Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1607-1636
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar